Menghadapi Transisi Cepat Antara Fase Menyenangkan dan Menyedihkan Dalam Kehidupan

Apakah perlu ada alasan atas penderitaan?


Setiap individu memiliki rutinitas dan cara tertentu dalam menjalani hidup, yang mencakup hobi, pekerjaan, hubungan dengan alam, dan interaksi dengan orang lain. Selama keadaan stabil dan dapat diprediksi, kita memiliki peluang besar untuk meningkatkan atau setidaknya mempertahankan kehidupan ideal kita. Sayangnya, kehidupan yang bersifat dinamis memiliki caranya sendiri untuk menghadirkan kejadian yang bisa menjungkirbalikkan keadaan kita. Dari memiliki pekerjaan tiba-tiba beralih menjadi pengangguran karena PHK, dari mempunyai hubungan yang bahagia menjadi kesedihan akibat kematian pasangan, atau dari kehidupan yang tenang berubah menjadi kacau karena bencana alam. Ketika alur kehidupan berubah 180 derajat, realitas baru yang menimbulkan stres, kekecewaan, kecemasan, atau keputusasaan akan sulit kita kelola.


Menyikapi Realitas yang Berubah

Ketika kita menghadapi transisi cepat antara fase menyenangkan dan fase menyedihkan, ada beberapa pertanyaan penting yang perlu diajukan untuk membantu kita menavigasi perubahan tersebut. Pertanyaan ini tidak hanya membantu kita untuk memahami apa yang terjadi, tetapi juga membantu kita untuk menemukan cara yang efektif dalam menghadapi dan mengelola emosi yang muncul.

1. Bagaimana Kita Menyikapi Ketidakpastian?
Hidup yang dinamis berarti kita harus menerima bahwa ada kegagalan, kehilangan, dan kerugian yang tidak bisa dihindari. Pada masa sulit, kita akan mencari cara untuk mengelola ketidaknyamanan emosi. Salah satu pendekatan umum yang bisa dilakukan adalah meminta bantuan kepada orang lain, sesederhana bercerita tentang apa yang terjadi untuk merasa dimengerti dan mendapatkan kelegaan emosi. Jika itu tidak bisa dilakukan, beberapa orang akan menenangkan dirinya dengan alkohol atau obat-obatan. Terlepas dari keragaman dan keefektifan tindakan yang diambil, ada keinginan mendasar yang dimiliki banyak orang yaitu membuat sebuah peristiwa yang terjadi menjadi masuk akal.

2. Mengapa Kita Mencari Alasan?
Kita adalah pencari pola. Kita percaya pada dunia yang koheren di mana keteraturan muncul bukan secara kebetulan melainkan hasil sebab akibat mekanis atau suatu pihak. Dalam praktiknya, pola-pola itu kita wujudkan sebagai alasan. Ini lebih dari sekedar usaha untuk memahami penyebab terjadinya suatu peristiwa tetapi juga upaya menyelidiki apa makna atau tujuan peristiwa itu terjadi. Dalam peristiwa yang menyenangkan, seperti mendapatkan promosi jabatan, misalnya, tidak cukup bagi kita untuk hanya memahami bahwa pencapaian itu lahir karena kita memenuhi persyaratan yang dibutuhkan. Kita juga ingin mengetahui apa maksud terjadinya pencapaian itu bagi jalannya hidup kita.

3. Bagaimana Kita Menghadapi Peristiwa Menyakitkan?
Namun, tantangan terbesar kita adalah ketika kita menghadapi peristiwa yang menghasilkan rasa sakit, seperti kehilangan orang yang berarti bagi kita. Proses untuk menemukan alasan menjadi sesuatu yang tidak pernah mudah. Salah satu penyebabnya adalah karena kita sering melabeli rasa sakit sebagai hal yang buruk, padahal fungsi rasional dari rasa sakit adalah sebagai pengingat bahwa ada sesuatu yang mengganggu kelangsungan hidup. Dengan menerima pandangan bahwa ada kebaikan yang dibawa rasa sakit, kita bisa meminimalkan pikiran dan perilaku yang hanya memperburuk keadaan.


Strategi Menghadapi Ketidakpastian

✓ Mencari Alasan
Seseorang yang mencari alasan akan memusatkan perhatian pada tujuan atau sasaran yang telah ditanamkan oleh budaya, agama, atau orang tua. Sejak kecil, kita diajari tentang apa yang aman dan apa yang berbahaya, siapa yang dapat kita andalkan dan siapa yang mengecewakan kita, apa yang perlu kita lakukan dan apa yang tidak. Dengan kata lain, lingkungan kita khususnya pengasuh kita mewariskan ajaran yang berisi bagaimana kita seharusnya memandang diri kita sendiri dan bagaimana dunia bekerja. Saat kita tumbuh dewasa, banyaknya ajaran yang tertanam begitu dalam kita gunakan sebagai panduan secara konsisten tanpa menyadarinya.

Misalnya, di lingkungan beragama, pertanyaan tentang alasan sebuah peristiwa terjadi akan mudah dijawab karena agama memberikan panduan yang jelas. Jika mereka menghadapi permasalahan dalam hidup, seseorang langsung bisa menggunakan skrip yang familiar seperti, "Ini terjadi karena Tuhan mengujiku" atau "Ini terjadi karena Tuhan menyiapkan sesuatu yang lebih baik di masa depan". Meskipun seperti tidak memiliki kebebasan berpikir, individu lebih mudah menerima keadaan dan memperoleh semacam kepuasan yang mungkin tidak akan didapatkan jika keluar dari pakem yang ada.

✓ Menemukan Alasan
Di sisi lain, ada orang tipe kedua: seseorang yang menemukan alasan. Dia tidak terikat atau terobsesi dengan apa yang sudah diajarkan. Dia lebih terbuka pada hal baru dan lebih mudah menerima kenyataan dalam sudut pandang yang berbeda. Misalnya, jika menghadapi permasalahan dalam hidup, dia mungkin mengeksplorasi perspektif baru seperti mempertimbangkan sudut pandang dari orang lain atau sumber daya lainnya.

✓ Menghadapi Realitas Tanpa Alasan
Namun, pendekatan ketiga adalah menghadapi realitas tanpa alasan. Kita tidak mencari, tidak juga menemukan alasan. Kita memilih untuk menerima apa yang terjadi dan bertanggung jawab atas emosi dan keadaan dengan tindakan yang ada dalam kendali kita. Alih-alih bertanya, "Kenapa ini terjadi kepadaku?" atau "Kenapa hidup ini tidak adil?" kita mengakui dan bertanya, "Inilah yang terjadi kepadaku, dan inilah emosi yang aku rasakan. Apa yang bisa aku lakukan untuk membuat momen ini lebih baik?"


Kepekaan Emosional dan Kesadaran Diri

☑ Menyadari dan Mengekspresikan Emosi
Kesadaran diri adalah kemampuan untuk melihat diri kita sendiri secara jelas dan memahami bagaimana dunia luar bekerja. Dengan kesadaran diri, kita bisa mengambil tindakan yang benar-benar kita butuhkan, salah satunya adalah kebutuhan mengekspresikan emosi kita kepada orang lain. Misalnya, kepada teman yang kita percaya, terapis profesional, atau komunitas. Inilah mengapa hubungan sosial yang baik sangat penting, karena kita membutuhkan orang lain yang mampu mendengar dan melihat siapa diri kita ketika dihadapkan pada situasi apapun.

☑ Menyembunyikan Emosi dan Dampaknya
Menekan emosi, baik itu kemarahan, kesedihan, duka, atau frustasi, dapat menyebabkan stres fisik pada tubuh. Efeknya sama meskipun inti emosinya berbeda. Upaya sadar untuk menyingkirkan pikiran dan perasaan yang sulit untuk diterima ini disebut sebagai suppressed emotions. Menyembunyikan perasaan intimu membutuhkan banyak energi, melemahkan motivasimu untuk mengejar tujuan yang bermanfaat, dan membuatmu merasa bosan dan menutup diri.


Mengelola Perubahan dengan Tindakan Praktis

✔ Bertindak dengan Kesadaran Penuh
Untuk menghadapi perubahan, kita perlu terjun ke dalamnya, bergerak bersamanya, dan ikut menari. Bisnis yang gagal, penyakit yang parah, perceraian, kematian orang yang dicintai, impian yang pupus, bencana alam, semuanya menyiksa dengan cara yang unik. Daripada menolak atau mencoba menghindarinya, kita harus menyelami perubahan yang terjadi dengan kepekaan setiap momen. Merangkul berbagai emosi disertai usaha untuk tidak memikirkan masa lalu atau mengkhawatirkan masa depan.

✔ Menerima dan Bertanggung Jawab
Kita harus menerima apa yang terjadi dan berusaha melanjutkan hidup dengan menikmati apa yang bisa dinikmati. Ini tidak hanya membantu kita jujur kepada diri sendiri tentang keadaan dan perasaan kita, tetapi juga membantu kita mengelola rasa sakit yang ditimbulkan oleh peristiwa yang dianggap buruk dengan tindakan yang mengarah pada ketahanan jangka panjang.


Kesimpulan

Hidup tidak pernah mudah dan membutuhkan banyak usaha serta keberanian, terutama jika hal terpenting dalam hidup kita terganggu atau hilang karena peristiwa menyakitkan. Namun, segala sesuatu dapat diambil dari seseorang kecuali satu hal: kebebasan terakhir manusia untuk memilih sikap dalam keadaan apapun, untuk memilih jalannya sendiri. Setiap dari kita merespon kesulitan hidup dengan tindakan yang berbeda-beda. Namun, titik balik yang akan menentukan arah hidup bisa dirangkum ke dalam dua pilihan: terjebak dalam pola pikir negatif dan membiarkan realitas menguasai tindakan kita, atau mengendalikan emosi internal dan bergerak maju untuk mengubah realitas.

Untuk bertahan, kita perlu mengupayakan yang kedua, dan biasanya itu dimulai dari mendapatkan alasan. Beberapa orang memilih untuk mencari alasan berdasarkan apa yang diajarkan oleh budaya, agama, atau orang tua. Beberapa yang lain memilih untuk menemukan alasan dengan keterbukaan diri untuk melihat dan menimbang banyak perspektif dari berbagai sumber. Jika kedua hal itu tidak berhasil, seseorang akan mengesampingkan keduanya dan memilih untuk menerima apa yang terjadi dan bertanggung jawab atas emosi dan keadaan dengan tindakan yang ada dalam kendali mereka.

Pada akhirnya, apapun cara yang dilakukan, bahkan jika itu di luar ketiga cara yang sudah dibahas, setidaknya itu harus bisa memberikan tiga hal: membantu kita jujur kepada diri sendiri tentang keadaan dan perasaan kita, membantu kita mengelola rasa sakit yang ditimbulkan oleh peristiwa yang dianggap buruk, dan menuntun kita kepada tindakan yang mengarah pada ketahanan jangka panjang.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nasehat Bijak Lao Tzu Agar Hidup Tenang dan Bahagia

Kisah Inspiratif Li Ka-shing: Dari Keluarga Miskin Hingga Jadi Pengusaha Terkaya di Hong Kong

Kontroversi Pandangan Nicola Tesla Tentang Cahaya, Energi dan Keabadian